“Oh, sori. Maaf,” katanya saat menabarak dada seorang pria tegap berkemeja putih lengan pendek. Isi gelasnya yang agak penuh menyiprat sedikit ke kemeja pria itu, meninggalkan noda.

Pria itu mengusap bagian ternoda di dadanya. “Tidak apa-apa, sedikit kok,” kata pria itu kemudian menyipitkan mata dibalik kacamata hitam perseginya. “Rena?”

Rena salah tingkah. Baru satu orang ini yang dapat mengenalinya. Rena tersenyum. “Hei, Rangga.”

Sosok cantik dengan pakaian yang terlihat mahal dan pas di tubuh mendekat, berdiri tepat di sebelah Rangga. “Rena, ya? Baru datang? Kok aku tidak melihat kamu daritadi.” Sosok itu mengamati Rena. Menyadari tidak ada yang spesial, dia mengalihkan pandangan kepada Rangga. “Wah, ketumpahan.”

“Iya, aku mau ke arah sana dan menabrak Rangga. Sori,” Rena mengacungkan gelas penyebab noda di kemeja Rangga.

“Terlalu penuh isinya,” sindir wanita cantik itu.

“Apa kabar, Ren? Kerja dimana sekarang?” tanya Rangga.

“Mengajar TK.”

“Wow!” wanita cantik itu mengayunkan bahunya, tertawa ke arah Rangga yang tersenyum.

“TK? Kenapa, Ren?”

“Itu yang kudapat. Aku melamar kemana-mana, tidak ada panggilan, dan aku senang bergaul dengan anak-anak, jadi...”

Sosok wanita lain, kali ini berambut pirang, ikut mendekat ke kerumunan tiga teman lama. “Hai?” sapanya dengan nada menerka-nerka siapa wanita yang sedang berbicara pada Rangga.

“Ini Rena loh, ingat? Dia sekarang mengajar di TK,” kata wanita cantik itu pada si pirang.

“Oh, ya ampun. Aku hampir tidak mengenali kamu. Pangling,” si pirang memaksakan cipika-cipiki pada Rena.

Rena menggenggam sebelah tangannya yang dingin. Sesaat kemudian dia mengetahui ketiga teman lamanya itu kini tinggal di kota yang berbeda-beda. Rangga bekerja di perusahaan asing, si cantik itu istri dari pegawai pemerintahan, dan si pirang tinggal di luar negeri. Mereka membicarakan hal yang tidak dimengerti Rena. Tangan saling menyentuh bahu, bercanda, tertawa, dan terkikik. Rena merasa terasing.

Dalam jeda sekian detik, Rena menyela berpamitan. Ketiga teman lamanya mencegah dengan jurus basa-basi yang mudah sekali dikenali. Begitu juga Rangga yang sempat menahan pergelangan tangannya. Dada Rena serasa sesak ditelanjangi oleh tatapan kedua teman wanitanya. Beginilah wajah teman lama setelah sekian tahun. Apa gunanya menerima ajakan datang kemari jika dianggap tidak selevel.

Rena berjalan menjauhi gedung. Tanpa menunggu, sebuah angkot melintas di depan matanya. Rena dapat lekas meninggalkan tempat yang dalam hitungan menit menggores hatinya.
Pantat wanita gemuk di sebelah Rena serasa empuk bergesekan dengan paha Rena. Angkot berjalan lambat. Rena melongok melihat jarum spidometer yang tak jauh dari angka tigapuluh. Dia mendesah dalam hati.

Kepala Rena berayun, menunduk. Rambutnya yang digerai sebahu meluncur menutupi wajahnya. Pikirannya lelah mencerna sepuluh tahun yang sudah.

Rena duduk di bangku baris keempat dari depan menghadap ke depan kelas seperti teman-temannya yang lain. Tangannya mencatat soal di papan tulis sekaligus menuliskan jawaban di bawahnya. Dia merasa otaknya memproses dengan cepat. Teman sebangkunya, Rangga, kagum sehingga memujinya. Pipi Rena memerah.

Seorang guru memanggil Rena ke kantor kepala sekolah. Rena mengikuti guru tersebut ke kantor kepala sekolah yang terlihat berbeda dari biasanya. Rena menerka-nerka apa yang berbeda. Dia berpikir keras tetapi tidak mendapat jawabannya. Kepala sekolah menyilakan Rena untuk duduk. Rena akan diikutsertakan dalam olompiade berhitung tingkat nasional. Jantung Rena berdegup.

“Mampukah saya?”

“Tentu.”

Beberapa bulan kemudian Rena berdiri di tengah sebuah hall. Dia sang finalis yang akan beradu cepat pada babak terakhir penentuan pemenang. Penonton yang sebagian besar merupakan siswa peserta yang gugur bersorak. Riuh rendah suara hampir tidak terdengar di telinga Rena. Yang dirasakannya hanya kekaguman. Banyak mata memandangi, mendukung, dan tersenyum padanya. Rena menjawab sebuah pertanyaan penentu tanpa berpikir. Mulutnya berbicara sendiri tanpa diperintahnya. Seisi gedung yang ternyata teman-temannya sendiri bersorak. Acara itu disiarkan ulang di televisi. Rena melihat sendiri sosoknya yang kecil di tengah hall itu dengan ekspresi kosong bersalaman dengan orang-orang penting saat menerima hadiah.

Televisi.

Rena mematikan televisi itu. Orangtua dan saudara-saudaranya melewatkan acara siaran ulang tersebut. Ragu-ragu, ketika makan malam Rena menceritakan apa yang dialaminya. Keluarganya terdiam seperti dalam adegan slow motion. Entong di tangan ayah beralih sangat lambat ke tangan ibu. Tiba-tiba kembali normal. Sayangnya sepertinya tidak ada yang mendengar ucapannya. Dia mengurungkan niat menceritakan kembali. Dia bukan seorang yang sombong. Dikatupkannya rapat bibirnya.

Rena beranjak ke kamar, membuka pintu kamar lebih lebar dari biasanya. Berharap orangtuanya dapat melihat penghargaan dari acara tersebut yang terpampang di meja belajar. Dia berdiri canggung di dalam kamar.

Sepupunya masuk, menemukan penghargaan itu dan berteriak pada seluruh penghuni rumah. Mereka mendengar, mereka kagum, mereka kemudian tidak kagum setelah pertanyaan sang sepupu, “Mana hadiah uangnya?”

Rena terpaku.

Sepertinya dia telah mengantonginya, sepertinya dia menaruhnya di lemari. Dia mencari-cari segepok uang itu di selipan baju, di bawah bantal, nihil. Sedih, dia membanting bantalnya. Sepupunya sudah sedari tadi meninggalkannya sendirian di kamar. Bukti nyata dia menang tidak ada. Dia sesenggukan di bantal. Tiba-tiba tangannya menyentuh buku tabungan di bawah bantal. Dibukanya buku itu, tertulis di sana enambelas juta rupiah.
Dia bangkit, duduk di tepi ranjang, memegang erat buku tabungan, melihatnya lagi, dan lagi. Masih sama.

“Ibu, lihat,” pintanya.

Ibunya melihat sekilas ke buku tabungan. Satu juta enam ratus ribu rupiah, sama dengan saldonya yang sudah-sudah. Ibunya mengatakan dengan meremehkan. Rena tidak merasa sedang mengarang kejadian. Dia telah melihat berkali-kali tertera angka yang sama. Takut-takut, dia melihat buku itu. Enambelas juta rupiah. Rena memperlihatkannya kembali pada sang ibu, menunjukkan penghitungan nol-nya.

“Apa kubilang,” katanya cuek sambil kembali membilas pakaian.

Ibunya benar.

Rena menghitung lagi dan lagi. Raut mukanya berubah sendu. Jika aku sebodoh ini bagaimana mungkin aku menang. Apakah aku benar-benar menang? Dia bertanya-tanya dalam hati.
Malam menjelang, Rena berdiri termenung di depan televisi. Yakin siapa yang dilihatnya di televisi waktu itu adalah dirinya. Dia juga telah jelas-jelas bersalaman dengan ketua panitia olimpiade pada waktu itu.

Bagaimana bisa?

“Kau menggunakan uangmu sebelumnya sampai habis. Kau mendapat hadiah satu juta enam ratus. Anggap saja uangmu utuh,” kata ibunya sambil lalu.
Hari berganti minggu yang berganti bulan kemudian tahun. Dia kini menjadi pengusaha sukses. Berhektar-hektar sawah dan ladang terhampar di depan matanya.

“Itu yang di sebelah sana juga milik anda?”

“Milikku? Kapan aku membelinya?”

Anak buahnya yang berusia lebih tua darinya membungkuk sopan padanya kemudian menjawab. Jawaban itu tidak begitu terdengar di telinga Rena tetapi dia merasa puas dengan jawaban itu. Semua ini benar miliknya, tidak seperti uang sebesar satu juta enam ratus ribu yang lalu.

“Anda ada jadwal wawancara di televisi tentang usaha anda,” pegawainya yang lain mengingatkan Rena.

Tak lama kemudian Rena sudah berpakaian rapi di sebuah studio televisi. Rasa-rasanya dia mengenall baik studio ini. Tahu dimana letak persis toiletnya. Rena ke toilet sebentar namun tidak jadi melakukan yang akan dilakukannya.

Dia kemudian melangkah, melambai, berjalan ke kursi yang terletak di tengah sorotan kamera. Di jauh, tiga teman lamanya duduk berdampingan menyaksikan. Rena tersenyum dalam hati. Aku lebih dari kalian.

Pembawa acara mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada Rena. Lagi, Rena menjawab tanpa berpikir tanpa memerintah bibirnya untuk bergerak.

“Sepuluh tahun yang panjang. Untuk berhasil memerlukan usaha dan usaha, terus berusaha dan berjuang,” katanya seakan kalimat itu menumpahkan semua emosi di dada. Penanya menyambut dengan senyum kagum.

Bayangan di kepala Rena berkelebat. Tahun demi tahun yang terlewati sampai di titik ini. Jika dia sesukses ini, diwawancara seolah hidupnya menginspirasi, kenapa batinnya merasa hampa? Kenapa sepertinya hasil kerja kerasnya tidak terasa di tangannya?

Duduk di tengah sorot kamera dan tepukan penonton tanpa saldo rekening yang bertambah. Rena bingung tetapi ditepisnya pikiran itu. Tidak, bantahnya dalam hati kemudian. Ada berhektar-hektar sawah dan ladang. Sekarang aku pasti salah melihat angka lagi.

Sekarang?

“Sekarang jam berapa, Bu?”

Siapa yang memanggilnya Bu.

Sosok tampan berbahu tegap di sampingnya menggoyang-goyangkan bahunya. Rena melihat pergelangan tangan kiri pria itu. Tidak ada jam tangan di sana.

“Sekarang jam berapa, Bu?” tanyanya lagi.

Rena melirik jam tangan antik, terlihat tua di tangan kirinya. Entah kenapa dengan kekayaan tadi dirinya tidak memiliki yang lebih bagus.

“Setengah satu,” jawab Rena. Pantas panas sekali, batinnya.

Sekarang.

Benaknya kemudian berbisik, mimpi adalah manifestasi kenangan yang terlupakan, kejadian yang tidak terlaksana di masa lalu.