Dia menyesap tetes terakhir kopi di
cangkir, berharap dapat mengusir kantuk. Dia mengibaskan kepala, menajamkan
mata yang menatap kosong pada buku di meja. Pukul satu dini hari tetapi belum
ada satu hurufpun yang mampir di otaknya. Gelisah, dia mengayunkan pensil di
jari.
“Ini karena dia,” serunya lirih. Dirinya
hanya ingin tidur karena mimpi jauh lebih indah dari kenyataan. Jika tidak
ingat kuliah itu penting, dia pasti memilih tidur. Tidur berhari-hari tergolek
di kasur menghindari pikiran tentang David yang terus datang di pikirannya.
Seorang nenek duduk di kursi goyang di
teras halaman belakang sebuah rumah. Halaman itu dihiasi rumput yang terhampar
seperti karpet. Cucunya duduk di kursi rotan di sebelahnya, mengerutkan bibir.
“Kuceritakan cerita...”
“Nggak, ah, paling tentang kompeni atau
sekolah rakyat.”
Nenek beralih pandang dari cucunya ke
langit biru. “Kita itu hidup melalui cerita yang turun temurun. Dari situ orang
jadi tahu, tidak perlu mengulangi lagi kesalahan ceritanya. Pernah tidak kamu
membaca terjemahan Al-Qur’an serajin membaca buku novelmu? Ada cerita juga di
sana. Kisah nabi, kisah orang-orang terbaik di masanya, kisah orang yang tidak
patuh pada Allah. Dari situ bisa belajar. Bukan dari kisah ibumu, bahkan
nenekmu yang dari sekolah rakyat ini.”
“Nenek dulu berjalan dari rumah ini sampai
ke daerah Brimob. Dulu belum ada rumah-rumah sepadat sekarang, hanya sawah yang
padat. Banyak begal (baca:penjahat,
perampok). Untuk sekolah, belajar baca.”
“Tidak ada memikirkan teman laki-laki
seperti kamu, seperti Mbak Gita-mu. Bisa bertemu tatapan mata saja sudah itu
tandanya cinta.”
“Ah, Nenek. Itu kan, dulu. Masalahnya aku
batal bertunangan karena ayah! Semua gara-gara ayah.”
Nenek menatap cucunya penuh tanya.
“David bilang, bibitku tidak bagus,” dia
terisak. Menangkupkan kedua belah tangan ke wajah, menghapus air mata yang
menetes. Dia kemudian diam dalam waktu lama. Nafasnya mulai teratur.
“Nabi Ibrahim itu nabi yang tabah. Ayahnya
pembuat berhala ternama untuk raja Namrud tetapi beliau yakin tidak mengikuti
keyakinan ayahnya. Beliau menemukan Allah dengan caranya sendiri. Ayahnya
berbuat salah, beliau ingatkan dengan lembut. Ayahnya kemudian marah dan
mengusirnya. Seberapa besar masalahmu dibanding beliau? Tetapi apa, beliau
tetap mendo’akan ayahnya. Benci itu seperti batu yang menindih, gelap dan berat
menutupi hati. Biar ayahmu begitu, kamu yang sabar. Do’akan orangtuamu,
menentramkan hatimu sendiri.”
Senja kemudian datang. Nenek tersenyum aneh,
membuatnya mematung di tempat.
Dia terkesiap. Kepalanya telah berbantalkan
meja. Dia menegakkan duduknya. Nenek? Itu pembicaraannya dengan nenek suatu
hari di senja sebelum nenek meninggal. Hanya saja setting di mimpinya langit biru?
Dia bergidik. Bisakah orang mati hadir
kembali di dunia. Nenek berbicara padanya. Mimpi itu rasanya nyata sekali. Dia
menoleh ke seluruh sudut ruang kamarnya. Hanya dia sendirian.
David memutuskan cinta karena orangtuanya
berpisah, mengatakan bibitnya tidak bagus? Pantaskah pria seperti David datang
di pikiran, mengganggunya di tengah malam saat dia sibuk belajar? Membuatnya
membenci ayahnya yang menikah lagi?
Dia meraih ponsel, mengetik pesan untuk
David.
Yes my parents
divorced but i will NOT and i don’t want to! Mereka tidak meninggalkanku saat
aku susah. Terimakasih Tuhan menunjukkan siapa kamu.
Dia kemudian menghapus kontak bernama
David. Dia membuka bingkai foto yang berhari-hari ini ditelungkupkan di meja.
Dia menegakkan bingkai itu, memandangi foto di bingkai. Ayahnya, ibunya, dan
dia di tengah, tersenyum lebar. Tidak ada cinta yang lebih dalam dari keluarga,
bagaimanapun itu.
“Ibu,” dia memeluk ibunya pagi itu.
(531 kata. Cerita ini ditulis untuk
mengikuti lomba menulis di Blog “Cinta yang Menginspirasi”
by http://www.sprayed-amore.com/p/lomba-blog-cintamenginspirasi.html#.U2goOIF_vYU)
Tags: Cerpen
Posting Komentar