Wanita itu duduk di sofa, menghadap suaminya yang sedang melonggarkan kancing lengan kemeja. Dia menarik napas panjang. Seharian telah memikirkan ini dan yakin akan mengutarakannya pada suami.

“Kamu kenapa?” tanyanya saat menyadari istrinya menarik napas panjang.

Di kepalanya terbayang sehari-hari selama satu tahun dirinya mencari-cari aktivitas di pagi hari. Seringkali mondar-mandir tidak jelas melakukan apa. Pergi dengan teman-teman? Terlalu pagi. Pergi ke pasar? Bau. Pada akhirnya dia membaca majalah, menonton televisi, mencari kemudian menulis ulang resep masakan. Menjelang siang ketika suaminya mulai lelah atau bosan di kantor, dia mendapat pesan, selalu.

Lagi apa sayang?

Lagi cari resep masakan

Tetapi kemudian tidak dibalas. Dirinya menganggap itu basa-basi, iseng, harapan palsu, bahkan mungkin saja dia membuat mode otomatis mengirim pesan. Ah, tidak melakukan sesuatu membuat pikirannya liar. Biasanya dia kemudian memasak.

Saat jam makan siang, suaminya pulang untuk makan siang, cium-peluk kemudian tidur. Jam makan siang usai, suaminya kembali bekerja. Dia galau lagi menunggu suami pulang kantor.

Hari ini puncaknya. Pikiran liar menuntunnya mengumpulkan keberanian ini.

“Sayang, aku mau bicara,” suaminya memandangi, “...aku sudah tidak tahan berada di sangkar emas kamu seperti ini.”

Dahi laki-laki itu berkerut. “Sangkar emas?” tanyanya.

Wanita itu mengangguk.

“Aku bersyukur hasil kerjaku kamu nilai seperti sangkar emas. Bagus berarti,” dia terkekeh, bangkit dari duduknya.

“Sayaang, bukan itu maksudku! Kalau aku kerja misalnya, lumayan kan menabung-menabung begitu.”

Laki-laki itu mendekati istrinya, “Bersama kamu itu nggak perlu menabung uang, yang perlu menabung kesabaran,” katanya sambil terkekeh kemudian mencium dahi istrinya.

Wanita itu kemudian tertawa, tidak jadi memprotes. Dia berlari memeluk suaminya, bersyukur.